Sabtu, 26 November 2011

Peranan Guru dalam Pengembangan Kurikulum

Seperti yang telah diketahui bahwa kurikulum memiliki dua sisi yang sama pentingnya, yakni kurikulum sebagai dokumen dan kurikulum sebagai implementasi. Sebagai sebuah dokumen kurikulum berfungsi sebagai pedoman guru dan kurikulum sebagai implementasi adalah realisasi dari pedoman tersebut dalam bentuk kegiatan pembelajaran. Jadi, dengan demikian kurikulum sebagai sebuah dokumen dengan proses pembelajaran sebagai implementasi dokumen tersebut merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, keduanya salaing meng-ada dan meniada-kan ada. kurikulum pasti ada pembelajaran dan ada pembelajaran ada juga kurikulum. (Wina Sanjaya,2010:27)
Guru merupakan salah satu faktor penting dalam implementasi kurikulum. Bagaimanapun idealnya suatu kurikulum tanpa ditunjang oleh kemampuan guru untuk mengimplementasikannya, maka kurikulum tidak akan bermakna sebagai alat pendidikan; dan sebaliknya pembelajaran tanpa kurikulum sebagai pedoman tidak akan efektif. Dengan demikian peran guru dalam menngimplementasikan kurikulum memegang posisi kunci. Dalam proses pengembangan kurikulum peran guru lebih banyak dalam tataran kelas. Murray Printr (1993) (Wina Sanjaya,2010:28 )mencatat peran guru dalam level ini adaah sebagai Implementer, adapters, developers, dan researchers.
Pertama guru berperan sebagai implementer,  guru berperan untuk mengaplikasikan kurikulum yang sudah ada. Dalam melaksanakan perannya guru hanya menerima berbagai kebujakan perumus kurikulum. Pada fase sebagai implementator kurikuum, peran guru dalam pengembangan kurikulum sebatas hanya menjalankan kurikulum yang telah disusun. Manakala kita lihat, sampai sebelum terjadinya reformasi pendidikan di Indonesia, guru-guru kita dalam pengembangan kurikulum  hanya sebagai implementator berbagai kebijakan kurikulum yang dirancang terpusat, yakni Garis-garis Besar Program Pngajaran(GBPP)
Kedua,  peran guru sebagai adapter,  lebih dari hanya sebagai pelaksana kurikulum, akan tetapi juga sebagai penyelaras kurikulum dengan karakteristik dan kebutuhan siswa dan kebutuhan daerah. Dalam fase ini guru diberi kewenangan untuk menyesuaikan kurikulum yang sudah ada dengan karakteristik sekolah dan kebutuhan lokal. Dalam kebijakan tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan(KTSP), misalnya para perancang kurikulum hanya menentukan standar isi sebagai standar minimal yang harus dicapai, bagaimana implementasinya,  kapan waktunya, dan hal-hal teknis lainnya seluruhnya ditentukan oleh guru. Dengan demikian peran guru sebagai adapter lebih luas dibandingkan dengan peran guru sebagai implementers.
Ketiga, peran guru sebagai pengembang kurikulum, guru memiliki kewenangan dalam mendeisain sebuah kurikulum. Guru bukan saja dapat menentukan tujuan dan isi pelajaran yang akan disampaikan, akan tetapi juga dapat menentukan strategi apa yang harus dikembangkan serta bagaimana mengukur keberhasilannya. Sebagai pengembang kurikulum sepenuhnya guru dapat menyusun kurikulum sesuai dengan karakteristik, visi dan misi sekolah, serta esuai dengan pengalaman belajar yang dibutuhkan oleh siswa. Pelaksanaan peranan ini dapat kita ihat dalam pengembangan kurikulum muatan lokal(Mulok) sebagai bagian dari struktur Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan(KTSP). Pengembangan kurikulum muatan lokal, sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing tiap satuan pendidikan. 
Keempat, sebagai fase terakhir adalah peran guru sebagai peneliti kurikulum (curriculum researcher). Peran ini dilaksanakan sebagai bagian dari tugas profesional guru yang memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan kinerjanya sebagai guru. Dalam pelaksanaan peran guru sebagai peneliti, guru memiliki tanggung jawab untuk menguji berbagai komponen kurikulum, misalnya menguji bahan-bahan kurikulum, menguji efektifitas program, menguji strategi pembelajaran dan lain sebagainya termasuk mengumpulkan data tentang keberhasilan siswa mencapai target kurikulum. Salah satu metode yang dianjurkan dalam penelitian ini adalah metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Melalui PTK, guru berinisiatif melakukan penelitian sekaligus melaksanakan tindakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi, sehingga tidak hanya menambah wawasan guru dalam melaksanakan tugas profesionlinya, akantetap juga secara terus-menerus guru dapat meningkatkan kualitas kinerjanya.

Jumat, 25 November 2011

Jenis–jenis Model Konsep Pengembangan Kurikulum


a.       Kurikulum Disiplin Ilmu
Menurut Longstreet(1993) (Wina Sanjaya,2010:64) desain kurikulum ini merupakan desai kurikulum yang berpusat kepada pengetahuan (the knowledge centered design) yang dirancang berdasarkan struktur ilmu, oleh krena itu model desain ini dinamakan juga model kurikulum subjek akademis yang penekanannya diarahkan untuk pengembangan inteektual siswa. Para ahli memandang desain kurikulum  ini berfungsi mengembagkan proses kognitif atau pengembangan kemampuan berpikir siswa melalui latihan menggunakan gagasan dan melakukan proses penelitian ilmiah (McNeil1990).
     Model kurikulum yang berorientasi pada pengembangan intelektual siswa, dikembangkan oleh para ahli mata pelajaran sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing. Mereka menyusun materi pelajaran apa yang harus dikuasai oleh siswa baik k menyangkut data dan fakta, konsep, maupun teori  yang ada dalam setiap  disiplin ilmu mereka masing-masing. Materi pembelajran tentu saja disusun sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. Selain memenentukan materi kurikulum, juga para pengembang kurikulum menyusun bagaimana melakukan pengkajian materi pembelajaran melalui proses penelitian ilmiah sesuai dengan corak atau masalah yang terkandung dalam disiplin ilmu. Jadi, dengan demikkian dalamdesain ini bukan hanya diharapkan siswa semata-mata dapat menguasai materi pelajaran sesuai dengan disiplin ilmu, akan tetapi juga melatih  proses berpikir melalui proses penelitian ilmiah yang sistematis.
     Dalam implementasinya, strategi yang banyak digunakan adalah strategi ekspositori. Melalui strategi ini, gagasan atau informasi disampaikan oleh guru secara langsung oleh guru kepada siswa. Selanjutnya siswa dituntut untuk memahami, mencari landasan logika, dan dukungan fakta yang dianggap relevan. Siswa dituntut untuk membaca buku-buku atau karya-karya besar dalam bidangnya untuk dimegerti, dipahami, dan dikuasai . selanjutnya, penguasaan materi disiplin ilmu itu dijadikan kriteria dalam keberhasilan implementasi kurikulum.
     Evaluasi yang digunakan bervariasi sesuai dengan tujuan mata pelajaran. Dalam pelajaran humaniora evaluasi dilakukan dalam bentu essay. Mata pelajaran kesenian diukur berdasarkan unsur subyektifitas. Matematika dinilai berdasrkan penguasaan aksiomanya bukan sekedar kebenaran dalam menghitung. Penilaian ilmu alam diberikan dalam bentuk pengujian proses berpikir bukan sekedar benar dalam jawaban.
Terdapat 3 bentuk organisasi kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu (Wina Sanjaya,2010:65), yaitu :
1)      Subject Centered Curriculum
Pada Subject Centered Curriculum,  bahan atau isi kurikulum disusun dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah, misalnya mata pelajaran sejarahj ilmu bumi, kimia, fisika berhitung dan sebagainya. 
2)      Correlated Curriculum
Pada organisasi kurikulum ini, mata pelajaran tidak disajikan secara terpisah, akan tetapi mata peajaran-mata pelajaran yang memiliki kedekatan atau mata pelajaran sejenis dikelompokkan sehingga menjadi suatu bidang studi(broadfield),  seperti misalnya mata pelajaran geografi, sejarah, ekonomi dikelompokkan dalam bidang studi IPS
3)      Integrated Curriculum
Pada organisasi kurikulum ini, tidak lagi menampakkan nama-nama mata pelajaran atau bidangn studi. Belajar berangkat dari suatu pokok masalah yang harus dipecahkan. Masalah ter sebut kemudian dinamakan unit. Belajar berdasarkan unit bukan hanya menghafal sejumlah fakta, akam tetapi juga mencari dan menganalisis fakta sebagai bahan untuk memecahkan masalah. Belajar melalui pemecahan masalah itu diharapkan perkembangan siswa tidak hanya terjadi pada segi intelektual saja akan tetapi seluruh aspek seperti sikap, emosi, atau keterampilan.

b.      Kurikulum Berorientasi pada Masyarakat
Asumsi yang mendasari bentuk rancangan kurikulum ini adalah bahwa tujuan dari sekolah adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, kebutuhan masyarakat harus dijadikan dasar dalam melakukan isi kurikulum. (Wina Sanjaya,2010:67)
Contoh desain kurikulum ini seperti yang dikembangkan oleh Smith, Stanley, dan Shores dalam buku mereka yang berjudul Fundamental of Curriculum(1950) atau dalam buku Curriculum Theory yang disusun oleh Beauchamp(1981). Mereka merumuskan kurikulum sebagai sebuah desain kelompok sosial untuk dijadikan pengalaman belajar anak di dalam sekolah. Artinya, permasalahan yang dihadapi dan dibutuhkan oleh suatu kelompok sosial, harus menjadi bahan kajian anak didik di sekolah
Ada 3 kriteria yang harus diperhatikan dalam proses mengimplementasikan kurikulum ini(Wina Sanjaya,2010:70). Ketiganya menuntut oembelajaran nyata (real) berdasarkan tindakan(action), dan mengandung nilai (values). Ketiga kriteria tersebut adalah pertama, siswa harus memfokuskan kepada salah satu aspek yang ada di masyarakat yang dianggapnya perlu untuk diubah, kedua, siswa harus melakukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi masyarakat itu, dan ketiga,  tindakan siswa harus didasarkan kepada nilai(values), apakah tindakan itu patut dlaksanakan atau tidak, apakah memerlukan kerja individual atau keompok tau bahkan keduanya.
Dalam mengorganisasi kegiatan belajar siswa disusun berdasarkan tema utama. Selanjutnya tema itu dibahas kedalam beberapa topik yang relevan. Topik itulah selanjutnya ditindaklanjuti, dibahas, dan dicari penyelesaian melalui latihan-latihan dan kunjungan-kunjungan.
Mengenai evaluasi pembelajaran diarahkan kepada kemapuan siswa mengartikulasi isu atau masalah, mencari pemecahan masalah, mendefinisikan ulang tentang problema, memiliki kemauan untuk mengambil tindakan-tindakan tertentu. Oleh karena itu evaluasi pembelajaran kurikulum rekonstrusi sosial dilakukan secara terus-menerus pada setiap saat

c.       Kurikulum  Berorientasi pada Siswa
Asumsi yang mendasari desain ini adalah bahwa pendidikan diselenggarakan untuk membantu anak didik. Oleh karenanya, pendidikan tidak boleh terlepas dari kehidupan anak didik. Kurikulum yang berorientasi pada siswa menekankan kepada siswa sebagai sumber isi kurikulum tidak boleh terlepas dari kehidupan peserta didik. (Wina Sanjaya,2010:71)
Anak didik adalah manusia yang sangat unik. Mereka memiliki karakteristik tertentu. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan, anak adalah makhluk yag berkembang, yang memiliki minat dan bakata yang beragam. Kurikulum harus dapat menyesuaikan dengan irama perkembangan mereka. Dalam mendesain kurikulum yang berorientasi pada siswa, Alice Crow (Crow & Crow, 1995) menyarankan hal-hal sebagai berikut :
1)      Kurikulum harus disesuaikan dengan perkembangan anak
2)      Isi kurikulum harus mencakup keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dianggap berguna untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.
3)      Anak hendaknya ditempatkan sebagai subjek belajar yang berusaha untuk belajar sendidri. Artinya siswa harus didorong untuk melakukan berbagai aktivitas belajar, bukan sekedar menerima informasi dari guru.
4)      Diusahakan apa yang dipelajari siswa sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat perkembangan mereka. Artinya apa yang seharusnya dipelajari bukan ditentukan dan dipandang baik dari sudut guru atau sudut orang lain tetapi ditentukan dari sudut anak itu sendiri.
Desain kurikulum yang berorientasi pada anak didik, dapat dilihat minimal dari dua perspektif, yaitu :
1)      Perspektif Kehidupan Anak di Masyarakat
Dalam perspektif ini, menharapkan materi kurikulum yang dipelajari di sekolah serta pengalaman belajar, didesain sesuai dengan kebutuhan anak sebagai persiapan agar mereka dapat hidup dimasyarakat. Anak dituntut untuk mempelajari berbagai macam yang bersifat abstrak, akan tetapi teori atau berbagai konsep yang dihubungkan dengan kehidupan nyata. Dengan demikian, apa yang dipelajari di sekolah relevan dengan kenyataan dimasyarakat.
2)      Perspektif Psikologis   
Dalam perpektif sikologis, desai kurikulum yang berorientasi kepada siswa, sering diartikan juga sebagai kurikulum yang bersifat humanistik, yang muncul sebagai reaksi terhadap proses pendidikan  yang hanya mengutamakan segi intelektual. Dalam perspektif ini, tugas dan tanggung jawab pendidikan di sekolah bukan hanya mengembangkan intelektual siswa saja, akan tetapi mengembangkan seluruh pribadi siswa sehingga dapat membentuk manusia yang utuh

Kurikulum humanistik menekankan kepada integrasi, yaitu kesatuan pribadi secara utuh antara intelektual, emosional, dan tindakan. Oleh karena prinsipnya demikian, maka kurikulum humanistik harus dapat memberikan pengalaman yang menyeluruh dan utuh, bukan pengalaman yang terpenggal-penggal. Organisasi kurikulum tidak mementingkan sequence, sebab, dengan sequence  yang kaku siswa tidak mungkin dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya. Sequence  dalam kurikulum humanistik harus menckup elemen-elemen tentang nilai, konsep, sikap, dan masalah. Dari hal-hal tersebut, disusun kegiatan-kegiatan yang memungkinkan siswa mengembangkan elemen-elemen itu.
Tidak seperti pada kurikulum subjek akademis dimana pelaksanaan evaluasi diarahkan untuk melihat keberhasilan siswa dalam menguasai matri pelajaran, pelaksnaan evaluasi dalam kurikulm humanistik lebih ditekankan kepada proses belajar. Kriteria keberhasilan ditentukan oeh perkembangan anak supaya menjadi manusia yang terbuka dan berdiri sendiri. Kurikulum hunanistik mengevaluasi berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan, dan bagaimana kegiatan tersebut mampu memberikan nilai untuk kehidupan yang masa datang. Proses pembelajaranyang bagus menurut kurikulum ini dalah manakala memberikan kesempatan kepada siswa untuk tumbuh berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

d.      Kurikulm Teknologis
Model desain kurikulum teknologis difokuskan kepada efektifitas program, metode, dan bahan-bahan yang dianggap dapat mencapai tujuan. Perspektif teknologi telah banyak dimanfaatkan pada berbagai konteks, misalnya pada program pelatihan di lapangan industri dan militer. Desain sistem instruksional menekankan kepada pencapaian tujuan yang mudah diukur, aktivitas, dan tes, serta pengembangan bahan-bahan ajar.
Teknologi mempengaruhi kurikulum dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi penerapan hasil-hasil teknologi dan penerapan teknologi sebagai suatu sistem. Sisi pertama yang berhubungan penerapan adalah perencanaan yang sistematis dengan menggunakan media atau alat dalam kegiatan pembelajaran. Penggunaan dan pemanfaatan alat tersebut semata-mata  untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembelajaran. Dengan penerapan hasil-hasil teknologi sebagai alat, diasumsikan pembelajaran akan berhasil secara efektif dan efisien. Contohnya pembelajaran dengan bantuan komputer. Sisi kedua, teknologi sebagai suatu sistem, menekankan kepada penyusunan progam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan sistem yang ditandai dengan perumusan tujuan khusus sebagai tujuan tingkah laku yang harus dicapai. Proses pembelajaran diarahkan untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, keberhasilan pembelajaran itu diukur sejauh mana siswa dapat menguasai tujuan khusus tersebut. Jadi, penerapan teknologi sebagai suatu sistem itu tidak ditentukan oleh penerapan hasil-hasil teknologi akan tetapi bagaimana merancang implementasi kurikulum dengan pendekatan sistem. (Wina Sanjaya,2010:75)
      Kurikulum teknologi, banyak dipengaruhi oleh psikologi belajar behavioristik. Salah satu ciri dari teori belajar ini adalah menekankan pola tingkah laku yang bersifat mekanis seperti yang digambarkan dalam teori Stimulus-Respon. Lebih lanjut dalam pandangan tentang beljara kurikulum ini memiliki karakteristik sebagai berikut (Wina Sanjaya,2010:76):
ü  Belajar dipandang sebagai proses respon terhadap rangsangan.
ü  Belajar diatur berdasarkan langkah-langkah tertentu dengan sejumlah tugas yang harus dipelajari
ü  Secara khusus siswa belajar secara individual, neskipun dalam hal-hal tertentu bisa saja belajar secara kelompok.
Menurut McNeil(1990) (Wina Sanjaya,2010:76), tujuan kurikulum teknologis ditekankan kepada pencapaian perubahan tingkah laku yang dapat diukur. Oleh karena itu tujuan umum dijabarkan kedalam tujuan-tujuan khusus. Tujuan-tujuan itu biasanya diambil dari setiap mata pelajaran (disiplin ilmu). Tujuan yang berorientasi kepada tujuan kemasyarakatan jarang dgunakan. Semua siswa diharapkan dapat menguasai secara tuntas tujuan pengajaran yang ditentukan.
Ciri-ciri  kurikulum teknologis adalah :
§  Pengorganisasian materi kurikulum berpatokan kepada rumusan tujuan
§  Materi kurikulum disusun secara bejenjang
§  Materi kurikulum disusun dari mulai yang sederhana menuju yang kompleks
Hal –hal yang perlu diperhatikan dalam implementasi kurikulum teknologis adalah sebagai berikut :
Ø  Kesadaran akan tujuan, artinya perlu memahami bahwa pembelajaran diarahkan untuk mencpai tujuan . oleh karena itu, siswa perlu diberi penjelasan tujuan apa yang harus dicapai.
Ø  Dalam pembelajaran siswa diberi kesempatan mempraktikkan kecakapan sesuai dengan tujuan.
Ø  Siswa perlu diberi tahu hasil yang telah dicapai. Dengan demikian siswa perlu menyadari apakah pembelajran sudah dianggap cukup atau masih perlu bantuan.

Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum


a.       Prinsip Relevansi
Kurikulum merupakan rel-nya pendidikan untuk membawa siswa agar dapat hidup sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat serta mebekali siswa baik dalam bidang pegetahuan, sikap maupun keterampilan sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Oleh sebab itu, pengalaman-pengalaman belajar yang disusun dalam kurikulum harus relevan dengan kebutuhan masyarakat. Inilah yang diebut dengan prinsip relevansi. (Wina Sanjaya,2010:39)
Ada dua macam relevansi, yaitu relevansi internal dan relevansi eksternal, relevansi internal adalah bahwa kurikulum harus memiliki keserasian antara komponen-komponennya, yaitu keserasian antara tujuan yang harus dicapai, isi, materi atau pengalaman belajar yang harus dimiliki oleh siswa, strategi atau metode yang digunakan serta lata penilaian untuk melihat ketercapaian tujuan. Relevansi internal ini menunjukkan keutuhan suatu kurikulum.
Relevansi eksternal berkaitan dengan keserasian antara tujuan, isi, dan proses belajar siswa yang tercakup dalam kurikulum dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Ada 3 macam relevansi eksternal dalam pengembangan kurikulum. Pertama, relevan dengan lingkungan hidup peserta didik. Artinya, proses pengembangan dan penetapan isi kurikulum hendaklah disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar siswa. Contohnya, untuk sekolah yang berada didaerah pantai, perlu diperkenalkan bagaimana kehidupan di pantai, seperti tambak, kehidupan nelayan, pembibitan udang, dan lain sebagainya. Kedua, relevan dengan perkembangan zaman baik sekarang maupun masa yang akan datang. Artinya, isi kurikulum harus sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang berkembang. Selain itu juga apayang diajarkan kepada sisaharus bermanfaat untuk kehidupan siswa pada waktu yang akan datang. Ketiga,  relevan dengan tuntutan dunia pekerjaan, artinya bahwa apa yang diajarkan disekolah harus mampu memenuhi tuntutan dunia kerja.
b.      Prinsip Fleksibelitas
Kurikulum harus bersifat lentur atau fleksibel. Artinya, kurikulum itu harus sesuai dengan kondisi yang ada. Kurikulum yang kaku atau tidak fleksibel akan sulit diterapkan (Wina Sanjaya,2010:56). Prinsip fleksibel memiliki dua sisi . Pertama, fleksibel bagi guru, yang arinya kurikulum harus memberikan ruang gerak bagi guru untuk mengembangkan program pengajarannya sesuai dengan kondisi yang ada. Kedua, fleksibel bagi siswa,artinya kurikulum harus menyediakan berbagai kemungkinan  program pilihan sesuai dengan bakat dan minat siswa.
c.       Prinsip Kontinuitas
Prinsip ini mengandung pengertian bahwa perlu dijaga saling keterkaitan dan kesinambungan antara materi pelajaran berbagai jenjang dan jenis program pendidikan. Prinsip ini sangat penting bukan hanya untuk menjaga agar tidak terjadi pengulangan materi pelajaran yang memungkinkan program pengajaran tidak efektif dan efisien, akan tetapi juga untuk keberhasilan siswa dalam menguasai materi pelajaran pada jenjang pendidikan tertentu. Maka perlu ada kerja sama antara pengembang kurikulum pada setiap jenjang pendidikan (SD, SMP, SMA dan Perguruaan Tinggi) (Wina Sanjaya,2010:41)
d.      Efektifitas
Walaupun kurikulum harus mudah, sederhana, dan murah tetapi keberhasilannya tetap harus diperhatikan. Keberhasilan pelaksanaan kurikulum ini baik secara kuantitas maupun kualitas. Pengembangan suatu kurikulum tidak dapat dilepaskan dan merupakan penjabaran dari perencanaan pendidikan. Perencanaan di bidang pendidikan juga merupakan bagian yang dijabarkan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dibidang pendidikan. Keberhasilan kurikulum akan mempengaruhi keberhasilan pendidikan.
Terdapat dua sisi efektifitas dalam pengembangan kurikulum (Wina Sanjaya,2010:41). Pertama, efektivitas berhubungan dengan kegiatan guru dalam melaksanakan tugas implementasi kurikulum di dalam kelas. Efektifitas berhubungan dengan guru berhubungan dengan keberhasilan mengimplementasikan program sesuai dengan perencanaan yang telah disusun. Kedua, efektifitas kegiatan siswa berhubungan dengan sejauh mana siswa dapat mencapai tujuan yang telah ditentukansesuai dengan jangka waktu tertentu.
e.       Efisiensi
Prinsip efeisiensi berhubungan dengan perbandingan antara tenaga, waktu, suara, dan biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh. Kurikulum memiliki tingkat efisiensi yang tinggi apabila dengan sarana yang minimal dan waktu yang terbatas dapat memperoleh hasil yang maksimal. Berapapun bagus dan idealnya kurikulum manakala menunutut peralatan, sarana dan prasarana yang sangat khusus serta mahal pula harganya, maka kurikulum itu tidak praktis dan sukar dilaksanakan. Kurikulum harus dirancang untuk dapat digunakan dalam segla keterbatasan. (Wina Sanjaya,2010:56)

Landasan dalam Pengembangan Kurikulum


a.       Filsafat pendidikan
Filsafat sering diartikan sebgai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi individu. Handerson (1959) mengemukakan:  “popularly Philosophy means one’s general view of life of men, of ideals, and of values, in the sesnse everyone has a philosophy of life”. Dengan demikian maka jelas setiap individu atau kelompok masyarakat secara filosofis akan memiliki pandangan hidup yang mungkin berbeda sesuai dengan nilai-nilai yang dianggap baik. Filsafat sebagai landasan pengembangan kurikulum menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok seperti : Hendak dibawa kemana siswa yang dididik itu? Masyarakat yang bagaimana yang harus diciptakan melalui ikhtiar pendidikan? Apa hakikat pengtahuan yang harus dikaji siswa? Norma- norma  atau sistem-sistem nilai yang bagaimana yang harus diwariskan kepada anak didik sebagai generasi penerus? Bagaimana sebaiknya proses pendidikan itu berlangsung?
Sebagai suatu landasan fundamental, filsafat memegang peranan penting dalam proses pengembangan kurikulum. Ada 4 fungsi filsafat dalam proses pengembangan kurikulum. Pertama, filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan. Dengan filsafat sebagai pandangan hidup atau value system,  maka dapat ditentuakan mau dibawa kemana siswa yang dididik itu. Kedua, filsafat dapat menentukan isi dan materi pelajaran yang harus dberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Ketiga,  filsafat dapat menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan. Filsafat sebagai sistem nilai dapat dijadikan pedoman dalam merancang kegiatan pembelajaran. Keempat, melalui filsafaat dapat ditentukan tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.
b.      Landasan Psikologis
Kurikulum merupakan pedoman bagi guru dalam mengantarkan peserta didik sesuai dengan harapan dan tujuan pendidikan. Secara psikologis, anak didik memiliki keunikan dan peredaan baik perbedaan minat, bakat, maupun potensi yang dimiliki sesuai dengan tahap perkembanganya. Dengan alasan itulah, kurikulum harus memerhatikan kondisi psikologi perkembangan anak dan psikologi belajar anak. Pemahaman  tentang anak bagi seorang pengembang kurikulum sangatlah penting. Kesalahan persepsi atau kedangkalan pemahaman tentang anak, dapat menyebabkan kesalahan arah dan kesalahan praktik pendidikan.
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum
c.       Landasan Sosial-Budaya
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia-manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat.Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya. Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.
Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukmadinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang.
Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial-budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun global.
d.      Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
         Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil kemampuan berpikir manusia telah membawa umat manusia pada masa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Terciptanya produk-produk teknologis semacam teknologi informasi, misalnya bukan hanya menyebabkan manusia bisa menjelajahi seluruh pelosok dunia, akan tetapi manusia mampu menjelajahi ruang angkasa sebuah tempat yang dahulunya dibayangkan sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Demikian juga halnya dengan ditemukannya hasil teknologi informasi dan komunikasi, bukan hanya manusia dapat berhubungan secara langsung dengan orang yang tinggal diseberang sana, akan tetapi manusia dapat melihat berbagai peristiwa yang terjadi pada saat yang sama di seluruh belahan dunia.
          Namun demikian, segala kemajuan yang diraih oleh umat manusia itu, bukan tanpa masalah. Pada kenyataannya terdapat berbagai efek negatif yang justru sangat mencemaskan manusia itu sendiri. Diproduksinya alat-alat transpormasi, menyebabkan permasalahan kemacetan dan kecelakaan lalulintas, yang setiap hari merenggut jiwa manusia. Pembangunan pusat-pusat industri menyebabkan terjadinya urbanisasi dengan berbagai permasalahannya, termasuk munculnya berbagai jenis kriminalitas. Terciptanya hasil teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan lunturnya dan terjadi gesekan budaya yang pengaruhnya terhadap eksistensi kelompok masyarakat bukan main besarnya.
Munculnya permasalahan-permasalahan baru ini menyebabkan kompleksitas tugas-tugas pendidikan yang diemban oleh sekolah. Tugas sekolah menjadi semakin berat, kadang-kadang tidak mampu melaksanakan semua tuntutan masyarakat. Sesuai dengan perkembangan zaman, tugas-tugas yang dahulu bukan menjadi tugas sekolah, kini diserahkan kepada sekolah. Sekolah bukan hanya bertugas menanamkan dan mewariskan ilmu pengethuan, akan tetapi juga harus memberi keterampilan tertentu serta menanamkan budi pekerti dan nilai-nilai. Sesuai dengan perubahan dan lompatan-lompatan yang sangat cepat itu, maka kurikulum yang berfungsi sebagai alat pendidikan, harus terus menerus diperbaruhi menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi baik isi maupun prosesnya. Para pengembang kurikulum tentunya termasuk guru harus memahami perubahan itu, agar isi dan strategi yang dikembangkan dalam kurikulum sebagai alat pendidikan tidak menjadi usang.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara langsung maupun tidak langsung menuntut perkembangan pendidikan. Pengaruh langsung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah memberikan isi/materi atau bahan yang disampaikan dalam pendidikan. Pengaruh tak langsung adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan perkembangan masyarakat, dan perkembangan masyarakat menimbukan problema-problema baru yang menuntut pemecahan dengan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan baru yang dikembangkan dalam pendidikan.

Sumber :
Nana Syaodih.S .2006. Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktik. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Wina Sanjaya.2010. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan(KTSP). Jakarta: Kencana